Rabu, 10 Februari 2010

Artikel dari acara /FlatSt/Art & CCF feat. RCF1

Kecerahan dari Grafiti Hantu

Sebanyak 20 seniman grafiti unjuk kebolehan di atas kanvas. Mendapat pengakuan dari seniman Prancis.

SOSOK itu berikat kepala dan berbaju hijau penuh sisik. Tongkat dan seekor monyet berada di sebelah kirinya. Tapi bukan si Buta dari Gua Hantu seperti diperankan almarhum Ratno Timoer yang terwujud dalam kanvas. Melainkan Popo, si Hantu dari Gua Buta.

Meski mengaku hantu, Popo yang dibentuk dari semprotan cat tak terlihat seram. Kepalanya plontos dan dia tak berjari. Berbagai karikatur mini dari spidol hitam di sekitar Popo malah menambah lucu sosoknya. Salah satu tokoh karikatur mengenalkan diri sebagai Raam Punjabi, yang bernama panjang Tiada Rotan Raam Punjabi.

Popo hadir bersama 20 karya grafiti lain yang ditampilkan di Galeri Nasional, Jakarta, mulai 30 Januari hingga 10 Februari. Pameran ini merupakan kelanjutan pertemuan 20 seniman grafiti dari Jakarta dan Bandung dengan tokoh grafiti asal Prancis, RCF1, empat hari sebelumnya.

Kurator yang juga ikut memamerkan karyanya, Fabian Suprijatna, mengatakan RCF1 yang mulai beraksi di jalanan Paris sekitar 20 tahun lalu memberikan bimbingan kepada seniman lokal. Mereka pun saling memamerkan karya masing-masing. Terakhir, mereka membuat grafiti di delapan kanvas berukuran 1 x 6 meter. ”Inilah kolaborasi pertama seniman grafiti asing dan lokal,” ujarnya.

Ghost and Phantom dipilih sebagai tema. Dengan cat semprot, dalam empat jam kanvas itu tersulap menjadi grafiti ala tembok kota. Menurut Fabian, pembuatan grafiti dalam waktu singkat merupakan pakem sejarahnya sejak 1980-an, untuk menghindarkan pelakunya ditangkap polisi. ”(Grafiti dan mural) kami hadirkan di kanvas supaya mudah dipamerkan,” katanya.

Tak perlu membayangkan gambar seram dalam pameran ini. Sama seperti hasil semprotan di tembok kota, mayoritas grafiti yang ditampilkan berwarna cerah dan mencolok. Selain tokoh Popo, hadir Buto Ijo (hijau muda) dengan mata memanjang keluar dari kelopak dan berbibir pink. Karya seniman Koma ini berpadu dengan karya RCF1, yang menuliskan namanya di separuh kanvas. Ada juga bayi setan berwarna merah tua dengan luka jahit di jidat dan membawa perkamen berisi angka 13. Grafiti yang disertai tulisan ini hasil semprotan Rhein13, Gth, dan Hard13.

Kecerahan serupa ditunjukkan grafiti buatan Toto dan Zaki. Meski setan bermuka hijau tanpa bola mata yang digambar memiliki gigi seperti drakula dan kuku panjang, rambutnya berwarna oranye, kuning, dan merah. Ditambah lagi totol-totol warna biru muda di sekeliling wajah setan, kesan angker pun lenyap seketika.

Karya Edor yang memunculkan gigi putih cemerlang singa laut juga mampu memperkuat warna ungu tubuh si pemilik gigi. Gambar tulang-belulang binatang dan monster kecil pemakan daging karya Miel88 dan Komodoo tetap terlihat manis meski menggunakan warna dasar biru kelam. Begitu pula dengan setan bermata tiga buatan Ashtwo. Corak cokelat wajah dan rambut setan itu menjadi lebih lembut dengan dikelilingi nama senimannya yang pink kusam.

Tak kenal nama-nama itu? Menurut Fabian yang menggunakan inisial /FlatStreet/Art, para seniman jalanan memang jarang menggunakan nama asli. Sama seperti kecepatan menggambar, nama alias digunakan untuk menghindari aparat. RCF1, misalnya, bernama asli Jean-François. Jean memilih nama artisnya karena terinspirasi lagu The Clash, Rudie Can’t Fail. Adapun penggambar Popo bernama asli Riyan Riyadi. Riyan mengaku menggunakan nama Popo sejak mulai menyemprot tembok pada 2000. ”Ketika kami di jalan, kami punya gaya dan aturan sendiri,” ujarnya.

Dengan hukum gaya dan aturan sendiri, karya yang dipamerkan memang tak mudah dipahami. Apalagi tulisan grafiti yang terkadang menyebutkan nama pembuatnya. Karya Shake dan Nsane5, misalnya. Jangankan membaca, menemukan hurufnya pun tak mudah. Bahkan Fabian sendiri kesulitan membaca karya rekannya. ”Tapi di sinilah justru seninya. Tinggal dinikmati saja,” ujarnya.

Toh, kemampuan seniman lokal tetap diakui canggih oleh RCF1. Menurut Fabian, RCF1 yang sama sekali tak mengetahui negara bernama Indonesia mengaku kaget saat melihat kemampuan mereka. ”Dia bilang, kami tak perlu diajari lagi karena teknik kami sangat baik,” ujarnya.

Fabian tak membual. Dalam status jejaring sosial Facebook miliknya, RCF1 mengakui kehebatan pelaku grafiti Indonesia. RCF1 menempelkan karya seniman sini di dinding jejaring sosialnya. Dan di depan setiap nama seniman itu, RCF1 membubuhkan ”Great Jakarta Artists”.

Pramono
TEMPO/Seni Rupa: 51/XXXVIII 08 Februari 2010

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/02/08/SR/mbm.20100208.SR132684.id.html#

Tidak ada komentar: